Jalurmedia.com – Perang antara Rusia dan Ukraina tidak hanya mencakup senjata militer, tetapi juga perang informasi melalui media sosial. Menurut para ahli, media sosial sedang menuju perpecahan yang mendukung Rusia dan Ukraina.
Atas penyebaran informasi melalui media sosial yang begitu cepat, maka netizen wajib untuk pintar dalam memilih informasi yang dikonsumsi. Hal ini diperuntukan dengan tujuan agar tidak gampang untuk termakan informasi yang bersifat hoax semata.
Dikutip dari laman CNNIndonesia, pakar keamanan siber dari CISSReC, Pratama Persadha menyebutkan bahwa diperhatikan memang distribusi konten utama konflik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia terbagi dan tersedia di seluruh platform media sosial. Konten dari Ukraina utama dibagikan secara luas di Facebook, Instagram, dan YouTube.
“Secara keseluruhan, konten mainstream Ukraina berlimpah di platform FB, IG, dan Youtube, dan platform ini bersumber dari AS,” imbuh Pratama.
Sulit untuk menempatkan konten pro-Rusia langsung di situs web netizen, dan banyak yang diblokir,” jelasnya.
Dukungan Terhadap Rusia
Platform TikTok, sementara itu, menawarkan konten utama berbahasa Rusia yang bisa disebut sebagai konten ‘asli’. Dia mengatakan bahwa melalui TikTok, penduduk asli China berada dalam posisi untuk mendukung Rusia.
Pratama juga menyebutkan bahwa China menghadapi ketidaksepakatan ini untuk membantu Rusia. Jadi TikTok memiliki semua jenis konten positif tentang konten Rusia. Sulit untuk mencegah penyebaran konten yang bersifat hoax selama perang terjadi. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak dan pendukungnya menyebarkan berita yang ada di media sosial.
“Baik partai maupun pendukungnya terlibat dalam penyebaran fakta dan disinformasi selama mereka mendukung keputusan dan pandangan mereka,” kata Pratama.
Pratama menghimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan informasi dari sumber dan fakta yang tidak diketahui agar tidak memunculkan pemberitaan yang tidak benar.
Disarankan kepada netizen dimana ketika menerima informasi dari sumber yang meragukan, maka dapat melihat terlebih dahulu latar belakang sumber yang menyebarkan informasi tersebut.
Pastikan bahwa konten lama aman dan mengandung banyak publisitas atau malah sebaliknya yakni berisi propaganda dan cenderung mempengaruhi penerima informasi. Untuk itu penting menjadi pintar dalam menggunakan media sosial dan juga penerimaan informasi dari media sosial.
Ukraina berhasil mendominasi media sosial
Ukraina telah melampaui Rusia dalam dominasi media sosial sejak Moskow mulai menginvasi Rusia.
Meskipun Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky ‘terjebak’ di Kiev karena pemboman dan ancaman pembunuhan, pemerintah Ukraina terus merajalela serangan di media sosial untuk mendapatkan perhatian dunia dan mengalahkan informasi dari pihak Rusia atas situasi yang terjadi.
Pesan video dari Presiden Zelensky sering viral dengan teks bahasa Inggris. Hal ini merupakan salah satu bukti bagaimana pihak Ukraina mendapatkan perhatian publik dunia sehingga mendominasi dalam hal informasi di media sosial.
Tak hanya itu, Ukraina kerap menyiarkan kesuksesan militernya dengan menekan tentara Rusia. Keberhasilan ini telah berubah menjadi pencarian dunia maya. Salah satunya adalah ketika rudal Ukraina menabrak helikopter Rusia.
Sebuah video juga menjadi viral secara online selama pameran unik lainnya yang menunjukkan penduduk desa mencuri peralatan militer Rusia dari traktor.
“Dalam fase pertama konflik, terkait dengan opini internasional, warga Ukraina jauh di depan bila melihat (penyebaran) informasi,” kata pendiri Predicta Lab, sebuah perusahaan Prancis yang memerangi disinformasi, Baptiste Robert, dikutip dari AFP melalui laman CNNIndonesia.
Robert mengungkapkan bahwa sebagian besar video orang Ukraina yang beredar di Twitter adalah nyata. Namun, ada beberapa klaim yang dianggap berlebihan.
Mantan pemerintah Kyiv membayar upeti kepada 13 penjaga perbatasan yang digambarkan mengejek Rusia, mengklaim mereka mati membela pulau Laut Hitam. Namun mereka ditemukan selamat dan diakui oleh pemerintah Ukraina.
Menanggapi laporan bahwa informasi ini ‘dibesar-besarkan’, kedutaan Ukraina di Paris mengatakan ‘kami tidak menyebarkan berita palsu’.
Pengamat lain menilai Ukraina telah berhasil menyaingi Rusia dalam penyebaran informasi. Hal ini memaksa Moskow untuk bekerja keras mengendalikan arus informasi yang tersebar.