OPINI, Jalurmedia – Di era kemajuan teknologi informasi media sosial memiliki peranan penting bagi negara demokrasi. Media sosial dan demokrasi dalam hubungan digambarkan dengan love-hate relationship. Media sosial dapat dijadikan kawan dan juga terkadang datang sebagai musuh bagi demokrasi.
Secara garis besar media sosial adalah sesuatu yang umum dan akrab bagi semua orang, terlepas dari apakah mereka menggunakannya atau tidak. Saat ini, media sosial adalah salah satu alat komunikasi yang paling banyak digunakan dan populer.
Meskipun terlihat banyak memberikan dampak positif dengan hadirnya media sosial, namun media sosial juga memiliki sisi negatifnya. Platform media sosial di negara demokrasi terbesar di dunia, seperti India dan Indonesia, telah dibanjiri dengan informasi dan berita palsu yang menyebar terlalu cepat untuk dikoreksi, terkadang dengan konsekuensi politik yang nyata.
Sebagai contoh kasus adalah penggunaan media sosial untuk menentukan pilihan politik masyarakat pada saat pemilihan umum. Begitu banyaknya ujaran kebencian yang dilakukan oleh para haters kepada calon kandidat. Media sosial menjadi alat utama yang digunakan untuk memperkeruh suasana selama masa kampanye. Pertukaran informasinya yang begitu cepat membuat orang-orang memilih media sosial sebagai alat utama dalam berkomunikasi masa kini.
Media Sosial Sebagai Kawan
Begitu banyak kebijakan yang berpengaruh dari media sosial terutama yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah. Melalui media sosial, masyarakat akan dengan mudah untuk menyalurkan aspirasi kepada pemerintah. Hal ini terjadi pada negara demokrasi tentunya yang membutuhkan rakyat sebagai aspirasi dari kebijakan pemerintah. Dalam artian bahwa rakyat memiliki andil untuk mempengaruhi sebuah kebijakan.
Dengan melalui media sosial, The Economist menyebutkan bahwa rakyat memiliki suatu harapan dalam memberikan sebuah pencerahan baru dalam dunia politik terutama dalam hal penyampaian informasi. Hal ini agar terciptanya transparansi atau keterbukaan antara pemerintah dan rakyat yang diperintah.
Beberapa platform media sosial yang telah banyak digunakan seperti Facebook, Twitter, Instagram telah menjadi platform pilihan dalam beberapa tahun terakhir. Melalui platform ini para masyarakat dapat dengan mudah untuk berbaur satu sama lain tanpa mengenal suku, rasa dan agama. Bahkan tidak mengenal tempat dan waktu untuk saling berkomunikasi.
Kebebasan dalam suatu negara demokrasi untuk bermedia sosial pun masih menjadi harapan utama agar rakyat dapat memiliki andil dalam kebijakan pemerintah. Media sosial di Indonesia sendiri digunakan sebagai alat untuk strategi berkampanye. Pemanfaatan media sosial disini tentunya tidak memakan banyak biaya karena penyaluran informasi semua dilakukan secara online. Namun media cetak tetap memiliki peranan penting dalam hal penyebaran luas informasi terutama informasi politik.
Media Sosial Sebagai Lawan
Begitu besarnya peran media sosial sehingga dapat digunakan untuk membentuk sebuah opini publik. Media sosial memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi. Adanya sesuatu yang dibagikan oleh media sosial dapat menimbulkan kontroversi dan kemudian mempengaruhi opini public akan suatu fenomena yang terjadi. Media sosial bisa menguntungkan dan sebaliknya juga dapat merugikan.
Kecenderungan akan opini public di media sosial biasanya disebabkan oleh penyebaran dari berita palsu atau fake news. Media sosial memiliki karakter yang tak dimiliki oleh media konvensional seperti media massa atau televisi. Media sosial memiliki peran yang tak terkontrol. Hal ini dipengaruhi oleh faktor utama dari keterbukaan dalam penyampaian informasi yang dapat diakses oleh semua orang tanpa terkecuali.
Contoh yang lazim digunakan atas pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik adalah dalam pemilihan umum presiden di Indonesia pada 2019 lalu. Terbentuknya kubu antara dua capres pada masa itu yakni antara pihak Joko Widodo dan pihak Prabowo Subianto. Kubu cebong disematkan untuk pendukung Jokowi sedangkan istilah kampret digunakan untuk kubu Prabowo.
Secara tak langsung polarisasi telah terjadi di media sosial. Contoh nyata dari pemilihan umum Presiden pun menggiring opini public akan kedua kandidat. Melalui informasi yang disebarkan oleh kedua pasang kubu dapat menimbulkan reaksi negatif bagi para pemilih. Pemilih dapat saja mengubah preferensi politiknya atas berita dan informasi yang terus disebarkan melalui media sosial.
Hingga saat ini berdasarkan survei yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 63 juta orang atau 24,23 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2013, angka tersebut diprediksi akan meningkat sekitar 30 persen menjadi 82 juta pengguna dan terus tumbuh menjadi 107 juta pada tahun 2014 dan 139 juta atau 50 persen dari total penduduk pada tahun 2015. Pengguna internet Indonesia meningkat 10,12 persen pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Secara total, pengguna internet terus naik mencapai 212,35 juta pengguna pada tahun 2021.