Jalurmedia.com – Cholil Mahmud, selaku musisi dan Wakil Ketua Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI), menjelaskan problematika pengelolaan royalti di Indonesia. Pasalnya, masalah tersebut membuat rekan-rekan musisinya semakin meradang.
Masalah Royalti di Indonesia
Cholil menjelaskan, banyak musisi Indonesia yang emosi karena potongan yang dibebankan atas royalti mereka. Seharusnya royalti tersebut menjadi hak mereka, namun ada keterlibatan pihak ketiga dalam pengelolaan royalti. Ia juga memfokuskan pada potongan yang dibebankan atas royalti para musisi. Pihak ketiga yang bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) adalah PT Lentera Abadi Solutama (LAS), yang disebut mematok potongan 20 persen dari hasil royalti musik.
Hal tersebut cukup mengherankan, karena royalti sebelumnya telah dipotong 20 persen oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dari masing-masing musisi. AMPLI juga mengungkapkan bahwa LMKN bekerja sama dengan PT LAS tanpa adanya diskusi terlebih dahulu dengan para musisi. Tentu saja hal tersebut membuat musisi menjadi hilang kepercayaan terhadap LMKN.
Dikutip dari CNN Indonesia, Cholil Mahmud mengatakan bahwa keterangan pemotongan royalti di Permenkunham yang lama sebesar 20 persen. Namun tiba-tiba terdapat tambahan potongan menjadi 40 persen. Itu diibaratkan bahwa para musisi dikenakan naik pajak 20 persen tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Dana itu disebut akan digunakan untuk menjalankan operasional PT LAS dalam membangun Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) serta melaksanakan tugas hariannya PT LAS. Cholil menambahkan, dana tersebut diketahui digunakan demi kepentingan PT LAS. Tentu saja hal itu membuat Cholil geram. Pasalnya, para musisi tidak diajak berdiskusi terlebih dahulu padahal hal itu jelas menyangkut royalti musisi. Cara yang digunakan pun turut dikritik Cholil.
Perubahan Peraturan
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh AMPLI, PT LAS telah melaksanakan tugas harian LMKN, yaitu menarik royalti. Hal itulah yang selanjutnya menimbulkan berbagai polemik. Jika dilihat dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN dan LMK dapat menggunakan dana operasional maksimal 30 persen dari jumlah keseluruhan royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya. Hal itu berlangsung selama lima tahun sejak diberlakukannya UU tersebut. Setelah lima tahun, LMKN dan LMK hanya dapat menggunakan dana operasional tersebut maksimal 20 persen.
Namun, muncul Permenkumham 2021 yang menambahkan lagi potongannya untuk pembangunan SILM, tepatnya 20 persen dari uang pencipta lagu. Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk membayar developer pembangunan tersebut. Hal itulah yang kemudian dapat protes dari sejumlah musisi.
Cholil menambahkan, royalti yang awalnya 20 persen menjadi 40 atau 36 persen, tegantung dengan cara menghitungnya. Tentu saja hal itu sangat merugikan para musisi dan bertentangan dengan UU Hak Cipta. Ia menyebut bahwa AMPLI akan terus memantau perkembangan perubahan Permenkunham Nomor 20 Tahun 2021 tenatang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. AMPLI juga meminta agar kerja sama LMKN dengan PT LAS dapat dijelaskan secara transparan. Cholil menyebut konflik kepentingan di PT LAS menjadi hal yang paling vital, sehingga jika prosesnya tidak transparan makan akan menjadi kontradiktif.