Dari Sensor Hingga Bully, Ada Apa dengan KPI
News Opini

Dari Sensor Hingga Bully, Ada Apa dengan KPI?

OPINI Jalurmedia.com – Belakangan ini sosial media Indonesia diramaikan dengan isu pelecehan seksual yang dialami oleh salah seorang karyawan di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kasus ini terjadi kepada korban berinisial MS yang mengaku mengalami tindak pelecehan seksual oleh senior-senior tempat ia bekerja. Sebenarnya ada apa dengan KPI?

Sebagai korban, MS melaporkan tindak kekerasan tersebut kepada Komnas HAM pada tahun 2017. Pihak Komnas HAM menyarankan untuk membuat pelaporan kepada pihak kepolisian karena hal ini merupakan tindak pidana.

Pun berlanjut selama bertahun-tahun akan tetapi tidak mendapatkan keadilan atas apa yang telah menimpanya, akhirnya MS memutuskan untuk menyuarakan kejadian kelam yang dialaminya di sosial media pada tahun 2021.

Setelah menilik kembali kisah yang dialami MS timbul pertanyaan apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga kasus ini berlangsung lama, apa tanggapan pihak KPI pusat atas hal ini dan bagaimana pergerakan hukum dalam kasus ini.

Pelecehan seksual dalam tubuh KPI

Sebagai korban, MS membuat pengakuan bahwa atas tindakan perundangan dan pelecehan oleh rekan kerja dan senior-seniornya. Atas perlakukan yang diterima membuat korban mengalami isu mental sehingga menyebabkan traumatis yang berkepanjangan. Sebenarnya ada apa dengan KPI? Apakah lembaga negara lantas menutup mata terkait kejahatan seksual macam ini?

Perundungan telah diterima korban sejak tahun pertama bekerja yakni pada tahun 2011. Hal ini dimulai dengan perlakuan kasar seperti dipukuli, dimaki, hingga dilecehkan. Korban juga mengaku bahwa martabatnya direndahkan yang tidak hanya terjadi sesekali namun berkali-kali.

Perlakuan menyeramkan ini diakui telah dialami korban daam waktu yang lama hingga tahun 2015. Kasus pelecehan seksual kemudian viral setelah menjadi pusat dari perhatian dari netizen. Pada kasus ini pelecehan seksual diterima korban oleh sesama pria.

Miris sungguh miris negeri ini. Adapun hal yang lebih mencengangkan adalah pada tahun 2015 para pelaku beramai-ramai melakukan hal yang tidak senonoh kepada alat kelamin korban dengan mencoret, menelanjangi serta mengunggah hal tersebut sebagai konsumsi situs online yang diperjualbelikan.

Padahal KPI merupakan Lembaga yang dibentuk berlandaskan Undang Undang Dasar No. 32 tahun 2002 dengan tujuan mengatur segala hal yang berkaitan dengan penyiaran di Indonesia. Sungguh melemahnya harkat dan martabat karyawan di Lembaga sebesar KPI ini.

Hierarki masih menjadi tombak untuk bekerja di Lembaga, senioritas masih sangat mendarah daging dalam hal ini. Padahal pada dasarnya setiap manusia memiliki hak asasi manusia yang sama dan berlaku pula untuk MS sebagai karyawan. Seakan otoritas dari KPI pusat patut untuk dipertanyakan.

Saling serang, pelaku kini main drama menjadi korban

Isu yang berawal dari isi pesan berantai dan unggahan di sosial media membuat kasus pelecehan seksual yang terjadi kepada korban MS menarik perhatian netizen. Pasalnya peristiwa yang terjadi sudah cukup lama akan tetapi akhir-akhir ini baru menjadi viral di publik.

Perlindungan hukum harus ditegakan. Akan tetapi di satu sisi jika bukti yang dikumpulkan tidak akurat maka perlindungan hukum yang berikan juga akan cenderung melemah. Hal ini dapat berbanding terbalik, pelaku bisa ditetapkan menjadi korban dan sebaliknya korban bisa ditetapkan menjadi pelaku.

Dari kacamata hukum sendiri kasus ini merupakan tindak pidana yang membutuhkan bukti konkrit dengan alat bukti yang kuat. Namun sampai saat ini yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah korban memiliki bukti yang kuat, maka kasus ini bisa berbanding terbalik dan bahkan dapat merugikan korban.

Di sisi lain, pelaku kembali melaporkan korban sebagai tindakan pencemaran nama baik di sosial media berdasarkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE). Hal ini didukung dengan informasi yang telah disebarluaskan oleh korban terkait dengan identitas dari pelaku.

Menjadi pr yang harus dilakukan oleh korban untuk kembali mengumpulkan bukti. Bukti yang dibutuhkan seperti keterangan saksi, keterangan ahli, foto atau video dan lain sebagainya yang dapat memperkuat pelaporan korban mengingat kasus ini telah terjadi sejak beberapa tahun silam.

Adapun hukum di Indonesia itu sendiri harus lebih diperhatikan, tidak hanya berlaku untuk pelaku akan tetapi juga pasca kejadian yang menimpa korban. Hanya dengan memberikan hukuman jera kepada pelaku maka tidak dapat menghapus beban mental yang diterima oleh korban. Diperlukan perlindungan hukum untuk korban.

Kondisi Kesehatan Mental Pasca Pelecehan Seksual

Penegakan hukum memang sudah sepatutnya untuk kasus pelecehan seksual harus ditindaklanjuti karena pelaku harus mendapatkan hukuman jera. Akan tetapi dari sisi mental yang diterima oleh korban pasca kejadian tidak dapat diselesaikan hanya dengan pelaku diadili melalui hukum.

Pasca kejadian pelecehan, bullying dan perundungan korban pasti memiliki efek trauma. Dalam kasus MS maka korban dapat divonis dengan PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder.

Hal ini didapat dari tindakan yang sangat buruk yang pernah dialami oleh korban seperti perundungan dan hal paling buruk dalam kasus MS adalah pelecehan seksual yang diterima.

Dampak kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh wanita saja akan tetapi juga kepada pria. Dampak yang ditimbulkan pun bisa sama dimana secara umum yang terjadi kepada pria juga dapat membuat mereka memiliki rasa khawatir yang tinggi dan tingkat percaya diri yang hilang.

Pelecehan seksual yang terjadi pada wanita maupun pria merupakan hal yang memalukan. Mereka akan memikirkan komentar negatif yang diberikan lingkungan sosial kepada mereka.

Tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipungkiri karena telah terjadi. Proses rehabilitasi dan pemulihan kembali mental sangat diperlukan. Bantuan ahli seperti psikolog maupun psikiater menjadi pertimbangan utama dalam hal ini.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *