Jalurmedia.com – China, Rusia, dan Australia menjadi negara yang menentang penghentian penggunaan batu bara. Ini termasuk pengakuan pertama kali atas “kontribusi signifikan” emisi metana terhadap perubahan iklim. Termasuk didalamnya adalah kebutuhan untuk pengurangan dari emisi metana.
Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab memimpin Global Methane Pledge, yang telah ditandatangani oleh lebih dari 60 negara. Seluruh negara tersebut telah setuju untuk mengurangi emisi metana hingga 30% selama dekade ini.
Dalam diskusi tersebut, komunike mengakui bahwa emisi metana memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan iklim. Kondisi ini tentunya sesuai dengan keadaan nasional di masing-masing negara. Pengurangan emisi metana dapat menjadi salah satu cara tercepat, paling layak dan paling hemat biaya untuk membatasi perubahan iklim.
Emisi metana sebagian besar berasal dari infrastruktur bahan bakar fosil yang bocor. Australia telah mengatakan tidak akan menandatangani janji tersebut. Penghasil metana utama lainnya, termasuk Indonesia, telah menandatangani perjanjian tersebut.
Beberapa produsen atau konsumen utama batubara menunjukkan penolakan terhadap bahasa iklim dalam draft komunike G20. Terutama seputar dekarbonisasi. Pengurangan penggunaan batubara tentunya mendapat penolakan dari beberapa negara. Bas Eickhout yang merupakan anggota parlemen Uni Eropa, yang dekat dengan pembicaraan mengatakan hal serupa seperti yang dikutip dari CNN Internasional.
Sementara itu, Jepang memimpin sekelompok negara pada pertemuan G-7 pada bulan Juni lalu. Pertemuan tersebut dilakukan untuk melunakkan bahasa seputar sistem tenaga dekarbonisasi. Sementara itu, China, India, Australia, dan Rusia ingin memastikan bahasa dalam komunike G20 saat ini tidak termasuk komitmen tegas, kata Eickhout, yang merupakan anggota delegasi Parlemen Uni Eropa pada pembicaraan COP26 mendatang.
Komitmen Pengurangan Penggunaan Batu Bara
Eickhout juga mengatakan bahwa Jepang bersikeras mengatakan jika sistem tenaga listrik harus “sangat” menghilangkan karbon pada tahun 2030-an. Pernyataan sikap dari Jepang ini sendiri dinilai lebih keras daripada menjadikannya komitmen yang jelas.
Tak ayal hal tersebut justru mendapat tentangan dari China dan India. Kedua negara tersebut merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia. Selain itu Australia menjadi negara pengekspor batu bara terbesar di dunia berdasarkan nilai. Sementara Rusia menjadi negara eksportir dan konsumen utama lainnya.
Rusia juga menolak untuk menetapkan tanggal berakhirnya pembiayaan proyek penggunaan batu bara di luar negeri. Komitmen yang dibuat Presiden China Xi Jinping pada bulan September di Majelis Umum PBB, mengungkapkan bahwa Rusia menunjukkan ruang untuk kompromi.
Dalam pertemuan G20 di Roma, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan bahwa ada “sekelompok besar negara yang memiliki keprihatinan yang sama tentang hal tersebut” ketika ditanya tentang bahasa tertentu yang terkait dengan batubara.
“Nah, hal-hal itu telah diselesaikan, melalui sherpa, dan melalui komunike,” ungkapnya.
Perlawanan dari Australia secara khusus dicatat oleh Jennifer Morgan, yang merupakan direktur eksekutif Greenpeace Internasional.
“Jika G20 adalah gladi resik untuk COP26, maka para pemimpin dunia mengacaukan garis mereka,” kata Morgan dalam sebuah pernyataan.
“Komunikasi mereka terbilang sangat lemah, kurang ambisi dan visi. Mereka juga cenderung dan gagal memenuhi momen. Sekarang mereka pindah ke Glasgow di mana masih ada peluang untuk memanfaatkan peluang bersejarah. Akan tetapi negara-negara seperti Australia dan Arab Saudi perlu dipinggirkan. Sementara negara-negara kaya akhirnya harus memahami bahwa kunci untuk membuka COP26 adalah kepercayaan.” seperti yang dikutip dari CNN Internasional.