RUU Ketahanan Keluarga Menambah Cuti Melahirkan Menjadi 6 Bulan
News

RUU Ketahanan Keluarga Menambah Cuti Melahirkan Menjadi 6 Bulan

Jalurmedia.com – Pembahasan RUU Ketahanan Keluarga (RUU) masih belum jelas. Hal ini terjadi karena beberapa fraksi di Kongres masih membahas beberapa pasal. RUU tersebut sebenarnya sempat disetujui Badan Legislasi (Baleg), namun kemudian terhambat di tengah jalan alias tidak lagi dibahas lagi setelah itu. Di sisi lain, seperti terlihat di situs resmi DPR RI, RUU Ketahanan Keluarga tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Salah satu pasal terhangat dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah ketentuan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan yang akan melahirkan atau menjelang hari lahirnya. Sebagai acuan, menurut peraturan saat ini, cuti melahirkan adalah 3 bulan.

Di sisi lain, dalam RUU Ketahanan Keluarga menetapkan cuti melahirkan menjadi 6 bulan atau dua kali lipat. Hak atas cuti melahirkan dan cuti menyusui adalah enam bulan tanpa kehilangan hak atas upah dan status. Aturan tersebut ada dalam Pasal 29 ayat a ayat (1).

Aturan pemberian cuti melahirkan bagi perempuan pekerja berlaku untuk semua perusahaan swasta, BUMN, BUMD, dan instansi pemerintah. Perempuan yang bekerja juga berhak untuk menyusui, menyiapkan dan menyimpan ASI selama jam kerja berdasarkan Pasal 29.

Perusahaan juga perlu menyediakan fasilitas menyusui di tempat kerja dan fasilitas pompa ASI khusus. Bahkan, RUU tersebut mengharuskan bisnis untuk menyediakan fasilitas penitipan anak yang aman dan nyaman di gedung mereka.

Suami Dapat Jatah Cuti Jika Sang Istri Melahirkan

Selain wanita bekerja, RUU Ketahanan Keluarga juga memberikan cuti bagi suami yang istrinya melahirkan. Cuti juga diberikan jika anak sakit atau meninggal. Para peneliti memiliki pandangan berbeda tentang kelayakan cuti hamil dan menyusui enam bulan di bawah Undang-Undang Ketahanan Keluarga.

Agustina Situmorang yang merupakan salah satu peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyatakan pekerjaan seorang ibu tidak terlalu memberi dampak pada pemberian hak yang diterima oleh anak atau bayi.

Hal itu termasuk mendapatkan ASI secara ekslusif. Dilansir dari Bisnis.com, ada 6,1 persen ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif karena bekerja, dan 62,7 persen lainnya menyatakan tidak memberikan ASI ekslusif karena ASI yang tidak bisa keluar sehingga bayi tidak mampu mendapatkan ASI eksklusif.

Augustina percaya bahwa pasal ini juga akan mengurangi kesempatan kerja perempuan untuk posisi strategis. Pasalnya, karir perempuan dianggap tidak bertahan selama enam bulan karena cuti. Peluang kerja perempuan untuk mengambil posisi strategis di tempat kerja menjadi berkurang.

Pendapat berbeda disampaikan Kurniawati Hastuti Dewi yang merupakan salah satu peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI. Menurutnya hak cuti diperlukan oleh ibu setelah melahirkan. Hak tersebut juga diperlukan untuk bayi agar mendapatkan ASI yang baik dari orang tuanya.

Selain itu, di negara lain seperti Skandinavia dan Eropa telah menetapkan hak cuti setelah melahirkan selama satu hingga dua tahun. Aturan tersebut merupakan bentuk kepedulian terhadap ibu dan bayi nya.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *