Taliban dan Korban Konflik Afghanistan
Opini

Taliban dan Korban Konflik Afghanistan

OPINI Jalurmedia.com – Kelompok militer bersenjata Taliban berhasil mengakuisisi istana kepresidenan Kabul, Afghanistan. Atas responnya terhadap Taliban membuat Presiden Afghanistan Ashraf Ghani bertolak ke luar negeri untuk melarikan diri. Motivasi atas tindakan yang dilakukan oleh Taliban di Afghanistan adalah bentuk protes kembali atas invasi yang dilakukan oleh pasukan AS di Afghanistan. Oleh sebab tindakan tersebut, korban konflik Afghanistan dan Taliban pun mulai berjatuhan.

Setelah pasukan AS setuju untuk menarik diri dari konflik di Afghanistan, pihak Taliban berjanji akan membalikan situasi yang terjadi di Afghanistan. Taliban mengutarakan bahwa akan membuat laju pemerintahan di Afghanistan kembali seperti semula. Sektor sosial, ekonomi dan pendidikan akan dikembalikan dengan mengizinkan para pekerja dan anak sekolah untuk kembali beraktivitas.

Akan tetapi disisi lain tindakan yang dilakukan oleh Taliban membuat warga sipil masih memiliki trauma. Mereka takut akan kejadian buruk pada tahun 1996-2001 silam atas berkuasanya Afghanistan terulang kembali. Kondisi korban atas peristiwa tersebut pun masih terbayang terutama bagi perempuan dan anak. Akuisisi oleh Taliban di Kabul pun memicu banyaknya warga sipil yang berusaha keras untuk melarikan diri dari negaranya, Afghanistan.

 

Sejarah Taliban

Sejarah Taliban

Taliban muncul di Afghanistan pada tahun 1990-an yang merupakan sebuah faksi politik dan agama. Dalam bahasa Pashto, Taliban yang berarti murid. Kelompok ini pada awalnya didominasi oleh mahasiswa yang tinggal di pondok pesantren. Secara garis besar anggota dari Taliban merupakan penganut Sunni.

Taliban dibentuk pada tahun 1994 setelah pasukan Uni Soviet menarik diri dari Afghanistan. Menilik kembali sejarah, sebelum Taliban dibentuk Uni Soviet berusaha untuk mengendalikan dan menguasai Afghanistan. Pertempuran antara beberapa pemimpin Taliban dengan Uni Soviet terjadi melawan pendudukan Uni Soviet pada tahun 1980-an.

Setelah mundurnya Uni Soviet pada tahun 1989 terjadi kekacauan dan perang saudara di Afghanistan. Sejak saat itu kondisi di Afghanistan semakin tidak terkontrol dengan konflik internal dan kepentingan-kepentingan negara lain yang berusaha untuk menginvasi Afganistan sebagai negara yang tengah berkonflik.

Pada awalnya warga Afghanistan menyambut baik Taliban dengan berbagai aksi yang dilakukan seperti membantu pemerintah untuk mengupayakan pemberantasan korupsi, membantu pembangunan di Afghanistan seperti membuat jalur-jalur perdagangan yang memudahkan warga sipil dan berbagai aksi lainnya.

Kemudian setelah berkuasanya Taliban beberapa kebijakan menjadi bertentangan dengan prinsip global seperti melarang perempuan untuk mendapatkan peran di publik seperti akses pendidikan dan pekerjaan. Tidak hanya itu larangan bagi warga sipil untuk menonton televisi, pembatasan aktivitas sosial bagi warga juga turut mewarnai kebijakan Taliban.

Klimaks dari pergerakan Taliban adalah pada tahun 2001 atas peristiwa 9/11 di New York City yang dikecam sebagai aksi terorisme oleh Al Qaeda yang merupakan kelompok radikal Afghanistan. Taliban mendapat tuduhan bahwa telah bekerjasama dengan Al Qaeda dalam usahanya untuk membantu pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden menghindari kejaran dari AS atas aksi teror yang dilakukan pada Gedung World Trade Center New York.

 

Kondisi korban kejahatan perang

Kondisi korban kejahatan perang

Efek yang ditimbulkan dari aksi yang dilakukan oleh Taliban dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan perang. Ribuan warga sipil menjadi korban konflik Afghanistan atas kekejaman yang dilakukan oleh Taliban. Pengambilalihan kekuasaan atas pemerintahan Afghanistan oleh Taliban harus dilakukan dengan aksi-aksi kekerasan. Aksi tersebut tentunya melukai warga sipil yang tidak bersalah terutama perempuan dan anak-anak.

Rakyat Afghanistan merasa tertekan atas kondisi yang terjadi. Perasaan tidak aman untuk hidup juga muncul ketika konflik terjadi. Hal ini membuat warga sipil rela dan nekat untuk membebaskan diri dari pengaruh Taliban dengan berusaha untuk bermigrasi dan mengungsi ke negara lain bahkan tanpa visa dan paspor. Ketika situasi sudah tidak berpihak, maka segala sesuatu akan diupayakan.

Dalam aspek hukum, aksi Taliban dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Dalam kacamata hukum internasional, serangan harus dibedakan antara kombatan dan non kombatan.

Kembali ditekankan bahwa warga sipil tidak boleh diserang dan tindakan kekerasaan serta ancaman, termasuk dengan ancaman menyebarkan ketakutan. Bentuk kekerasan yang disebabkan oleh kejahatan perang termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam hak asasi manusia sangat, ditegaskan bahwa manusia berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak serta hidup bebas tanpa adanya ketakutan. Terutama atas adanya ancaman kekerasan. Efek yang ditimbulkan dari kejahatan perang tidak hanya terjadi pada fisik saja akan tetapi yang lebih harus diperhatikan adalah kepada mental dari korban konflik Afghanistan.

Apakah mental korban akan siap menerima efek trauma dari konflik yang ditimbulkan terutama bagi anak-anak dan perempuan. Tentunya anak akan tumbuh dewasa dengan efek traumatis yang diderita dari pengalaman masa lalu atas kejahatan perang yang sudah dirasakan sejak dini.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *