Pesantren Jadi Tempat Pemerkosaan? Ini Penjelasan Kriminolog!
Health Opini

Pesantren Jadi Tempat Pemerkosaan? Ini Penjelasan Kriminolog!

Jalurmedia.com – Publik dihebohkan dengan kasus pemerkosaan belasan santri putri di Bandung yang tak lain dilakukan oleh pengurus pondok pesantren. Dalam kasus ini, beberapa korban bahkan hamil dan melahirkan tanpa menikah dengan oknum guru tersebut. Apakah ini berarti lembaga pendidikan sekelas Pesantren dapat jadi tempat pemerkosaan?

“Delapan anak lahir. Saya kira masih ada yang akan hamil lagi. Tapi saya tidak yakin,” kata Dodi Gozali Emil, Kepala Bagian Penerangan dan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Negeri Jabar. seperti yang dikutip dari Berita Liputan6.com, Senin (13/12/2021).

Masalah masih berlanjut dan kasus pemerkosaan lain telah dilaporkan terjadi di wilayah Pesantren. Kasus ini menimpa dua santriwati di Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya mengaku dilecehkan oleh petugas pondok pesantren.

Berkaitan dengan kasus tersebut, kriminolog Haniva Hasna M. Karim turut merasa sedih dan miris. Ia juga berbicara tentang kasus pemerkosaan di dunia pendidikan, khususnya di pesantren.

Menurutnya, kejahatan bisa terjadi di mana saja, tergantung di mana terjadinya. Tidak ada tempat yang aman untuk menghindari kejahatan seperti ini. Bahkan di rumah yang seharusnya aman, kejahatan masih saja bisa terjadi.

“Namun, banyak hal yang membuat Pesantren menjadi tempat yang sangat rawan terhadap kekerasan seksual,” kata Iva seperti yang dikutip dari Liputan6.com, Minggu (12/12/2021).

Mengapa Pesantren Lebih Riskan?

Iva pun menjelaskan alasan mengapa lingkungan pesantren jadi tempat pemerkosaan bagi para santriwati.

“Anak atau santri yang berada di pesantren akan kehilangan attachment dengan orangtuanya. Mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan menyerahkan hidup mereka kepada pengurus atau guru di pesantren. Perintah untuk tunduk dan patuh ini saja sudah membuat posisi sang anak menjadi powerless,” ungkap Iva.

Tindak pencabulan seperti ini biasanya dilakukan dengan menggunakan ancaman. Terkadang para pelaku juga melakukan pemaksaan perkawinan atau memasukkan Ilmu tertentu.

Dibeberapa kasus, para pelaku juga menakut-nakuti korbannya dengan ancaman mendapat azab bila tidak menuruti permintaan pelaku. Dengan kondisi seperti itu, maka siswa atau santri berada dalam tekanan dan terpaksa harus menuruti permintaan pelaku.

Di sisi lain, adanya keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orangtua membuat anak atau santri tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Ketika dalam keadaan terancam. Selain itu, lemahnya sistem perlindungan dalam pesantren itu sendiri membuat kasus-kasus yang terjadi seolah terkubur kembali.

Faktor Pendukung Terjadinya Pemerkosaan

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak perkosaan di pesantren. Jika dari sudut pandang pelaku, faktor tersebut dapat berupa keseimbangan kekuasaan atas kehadiran korban dalam hubungan.

Hubungan kekuasaan yang pertama bersifat hierarkis. Yang berarti adanya kondisi yang kuat dari oknum guru dan tidak berdaya dari para santri. Dalam hal ini siswa merasa berkewajiban untuk tunduk dan patuh kepada guru. Para pelaku merasa lebih berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang. Mereka juga merasa berhak memberi perintah bahkan mengancam.

Penyelidikan mengungkapkan bahwa kata-kata, “Kamu harus mematuhi guru,” sering diucapkan dalam kondidi tertentu. Para santri juga akan dihukum karena tidak melakukan kehendak pelaku, dan seterusnya.

Faktor lain adalah jenis kecanduan yang menciptakan kondisi yang dapat disalahgunakan. Seorang remaja akan merasa tergantung pada orang tuanya di rumah. Sementara jika dia di pesantren, mereka akan mencari perlindungan dan bergantung pada pemilik pesantren. Sehingga dalam hal itu dia dapat menciptakan kepatuhannya sendiri.

Jika santri tidak mengikuti kehendak pelaku, santri tidak akan dapat melanjutkan pendidikan dan tingkat pendidikan berikutnya tidak akan didanai. Meski hanya sebatas janji, pelaku berhasil membuat korban sangat bergantung pada janjinya.

“Hal ini berkembang setelah terjadi persetubuhan. Janji pemenuhan kebutuhan korban dan bayi cukup membingungkan korban. Oleh karena itu, jika dia mengaku kepada orangtuanya pun belum tentu mendapatkan penerimaan.”

Dari sudut pandang korban, ketidakmampuan untuk menolak dan bahkan tidak melaporkan mendukung kasus-kasus seperti itu. Pasalnya, ancaman dari pelaku terasa sangat kuat bagi para korban. Hubungan dengan orang tua yang jauh, kurangnya perjumpaan dan komunikasi, serta ancaman dari pelaku membuat korban bungkam.

Faktor lainnya adalah rusaknya moral. Etika adalah alat penting untuk mempelajari kebajikan dan sangat penting untuk menentukan perilaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak memiliki akhlak yang baik cenderung berbuat buruk.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *